UU ITE yang Baru Mulai Berlaku













Ilustrasi Undang-undang Informasi & Transaksi Elektronik (ITE).

SAMBAS- Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang baru direvisi, akan berlaku mulai hari ini, Senin (28/11/2016).
"Berdasar UU no 12 tahun 2011 Pasal 73, suatu RUU disahkan melalui tanda tangan Presiden paling lambat 30 hari setelah disetujui DPR dan Presiden," kata Ketua Tim Panitia Kerja (Panja) RUU ITE Henry Subiakto melalui pesan singkat, Senin (28/11/2016).
"Kalau belum ditandatangani Presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung saat disetujui bersama, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan," lanjut Henry.
Ada empat perubahan dalam UU ITE yang baru.
Pertama, adanya penambahan pasal hak untuk dilupakan, yakni pasal 26.
Pasal itu menjelaskan seseorang boleh mengajukan penghapusan berita terkait dirinya pada masa lalu yang sudah selesai, namun diangkat kembali.
Salah satunya seorang tersangka yang terbukti tidak bersalah di pengadilan, maka dia berhak mengajukan ke pengadilan agar pemberitaan tersangka dirinya agar dihapus.
Kedua, yakni durasi hukuman penjara terkait pencemaran nama baik, penghinaan dan sebagainya dikurangi menjadi di bawah lima tahun.
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 21 KUHAP, tersangka selama masa penyidikan tak boleh ditahan karena hanya disangka melakukan tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya penjara di bawah lima tahun.
Ketiga, tafsir atas Pasal 5 terkait dokumen elektronik sebagai bukti hukum yang sah di pengadilan.
UU ITE yang baru mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dokumen elektronik yang diperoleh melalui penyadapan (intersepsi) tanpa seizin pengadilan tidak sah sebagai bukti.
Terakhir, yakni penambahan ayat baru dalam Pasal 40.
Pada ayat tersebut, pemerintah berhak menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi yang melanggar undang-undang. Informasi yang dimaksud terkait pornografi, SARA, terorisme, pencemaran nama baik, dan lainnya.
Jika situs yang menyediakan informasi melanggar undang-undang merupakan perusahaan media, maka akan mengikuti mekanisme di Dewan Pers.
Namun, bila situs yang menyediakan informasi tersebut tak berbadan hukum dan tak terdaftar sebagai perusahaan media (nonpers), pemerintah bisa langsung memblokirnya.
"Persetujuan DPR dengan Pemerintah untuk RUU ITE sudah dilakukan pada 27 Oktober, 30 harinya berarti hari ini harus sudah dinomori di Sekretariat
dengan ada nya UU Tersebut maka di beritahukan kepada masyarat sambas untuk lebih berhati-hati dalam membuat status atau berkomentar di MedSos

Dalam catatan detikcom, Senin (28/11/2016), seluruh konten informasi elektronik masih bisa dijadikan delik dalam UU tersebut. Bedanya, bila dulu adalah delik umum, maka kini menjadi delik aduan. Hal-hal yang dilarang yaitu:

1. Konten melanggar kesusilaan, ancaman tetap yaitu maksimal 6 tahun penjara.
2. Konten perjudian, ancaman tetap yaitu maksimal 6 tahun penjara.
3. Konten yang memuat penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Bila dulu diancam maksimal 6 tahun penjara, kini menjadi 4 tahun penjara.
4. Konten pemerasan atau pengancaman, ancaman tetap yaitu maksimal 4 tahun penjara.
5. Konten yang merugikan konsumen, ancaman tetap yaitu maksimal 6 tahun penjara.
6. Konten yang menyebabkan permusuhan isu SARA, ancaman tetap yaitu maksimal 6 tahun penjara.

Nah, lalu bagaimana soal medium sarana elektronik? Tidak ada yang berubah. Semua sarana elektronik bisa dijadikan objek UU ITE, dari SMS, media sosial, e-mail, hingga mailing-list.

Contoh kasus SMS yang berisi penghinaan terjadi di Desa Bara, Kecamatan Woja, Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), yakni kala Siti Mardiah (45) mengirimkan SMS kepada Emi Hidayanti pada 2014. Siti mengirim SMS yang berisi penghinaan dan mengata-ngatai Emi sebagai pelacur.

Kasus ini naik ke pengadilan dan Siti dihukum pidana percobaan.

"Menjatuhkan pidana penjara selama 1 bulan. Pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain bahwa terpidana sebelum lewat masa percobaan selama 2 bulan melakukan perbuatan yang dapat dipidana," ucap ketua majelis Djuyamto dengan anggota M Nur Salam dan Ni Putu Asih Yudiastri.

Masih soal SMS, Saiful dipenjara 5 bulan karena dia mengirimkan SMS berisi perkataan cabul, jorok, dan porno kepada Adelian Ayu Septiana. Adel pun melaporkan hal ini ke polisi. Kasus bergulir hingga ke Mahkamah Agung.

Majelis kasasi yang diketuai Djoko Sarwoko dengan hakim anggota Komariah Emong Sapardjaja dan Surya Jaya menjatuhkan hukuman 5 bulan kepada Saiful. Kasus ini menjadi kasus pertama yang masuk MA terkait SMS cabul yang dipidana.

Kasus UU ITE via mailing-list dan e-mail yang paling heboh adalah kasus Prita Mulyasari. Prita mengeluhkan layanan sebuah rumah sakit dalam bentuk e-mail. Pihak RS lalu mempolisikan Prita dan jaksa menuntut Prita selama 6 bulan penjara. Pada 29 Desember 2009, majelis hakim PN Tangerang memutus bebas Prita Mulyasari. Alasan utama membebaskan Prita adalah unsur dakwaan pencemaran nama baik tidak terbukti.

Siapa nyana, MA membalikkan semuanya. MA mengabulkan kasasi jaksa dan menyatakan Prita Mulyasari bersalah dalam kasus pencemaran nama baik RS Omni Alam Sutera, Tangerang. Prita divonis 6 bulan, tapi dengan masa percobaan selama 1 tahun. Kasus ini lalu dimintakan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) dan dikabulkan. Prita bebas.

Untuk kasus SARA, masyarakat tentu masih ingat kasus Florence Saulina Sihombing. Mahasiswa S-2 di Yogyakarta itu menuliskan kata negatif dalam akun Path-nya karena kesal dengan antrean beli bensin. Florence nyaris ditahan polisi dan akhirnya diadili.

Pada 31 Maret 2015, PN Yogyakarta menyatakan Florence tidak perlu dihukum 2 bulan penjara asalkan tidak berbuat kejahatan selama 6 bulan ke depan. Selain itu, Florence harus membayar denda Rp 10 juta. Pada 28 Juli 2015, Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta memperbaiki putusan PN Yogyakarta sekedar menghapus pidana dendanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANTUN MELAYU SAMBAS TERKINI

Wisata Daerah Kabupaten Sambas

KOMUNITAS TEATER PERTAMA DI SAMBAS